20 Februari 2008

ThinkFree Office Versi Terbaru


JAKARTA - PT Andalan Solusindo Pratama dan Haansoft Inc memperkenalkan ThinkFree Office versi terbaru, software meliputi program-program word processing, spreadsheet, dan presentasi yang mampu berjalan di berbagai platform, online maupun offline.

ThinkFree Office terdiri dari komponen-komponen yang serupa dengan produk aplikasi perkantoran dari kompetitornya, terutama Microsoft dengan Microsoft Office-nya.

Aplikasinya meliputi word processing dengan ThinkFree Write, spreadsheet dengan ThinkFree Calc, dan aplikasi presentasi grafik dengan ThinkFree Show, yang memungkinkan pengguna membuat ataupun menyunting dokumen dan filenya.

Selain itu, user ThinkFree juga mendapatkan manfaat dari fungsi "Save As PDF" untuk mengkonversi dokumen mereka ke format Portable Document Format (PDF).

"Think Free Office dikembangkan dengan kemiripan user interface dengan Microsoft Office. Para pengguna yang sudah friendly dengan Microsoft Office akan mudah beradaptasi dengan ThinkFree Office," ujar Managing Director Andalan Solusindo Pratama Richard Kartawijaya, saat jumpa pers di Mario's Place Cikini, Jakarta, Selasa (19/2/2008).

"Beberapa fitur tambahan dan harga yang jelas lebih murah tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan-perusahaan maupun UKM dengan dana terbatas untuk operasional dan terhubung menggunakan aplikasi-aplikasi perkantoran dari kompetitor kami," imbuhnya.

Aplikasi-Aplikasi ThinkFree ini dikembangkan dengan menggunakan teknologi Java yang dapat berjalan pada sistem operasi Linux, Mac, ataupun Windows, Sun Polaris, dan Unix. Aplikasi ini juga bekerja dalam 11 bahasa, termasuk Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, Prancis, China, dan Jepang.

ThinkFree Office dijual retail untuk enterprise ataupun satuan dengan harga sekira USD50. "Harga retail dari kami adalah USD50. Untuk volume user, akan ada kesepatakan sendiri yang pasti jauh lebih murah. Harga ini cukup terjangkau dibandingkan kompetitor kami yang tujuh hingga sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga kami," papar Richard. (mbs)

ThinkFree Office Targetkan 20.000 Lisensi

Managing Director PT Andalan Solusindo Pratama Richard Kartawijaya menargetkan ThinkOffice akan terjual sebanyak 20.000 Lisensi pada 2008.

"Kami targetkan yah kurang lebih 20.000 lisensi. Segmen kami tidak hanya enterprise, meliputi banking industry, pemerintahan, dan individual PC-user, tetapi juga sekolah-sekolah. Kali ini kami dan Haansoft ingin berkontribusi untuk pendidikan. Dengan harga yang terjangkau, saya pikir segmen kami tersebut tidak keberatan menerima produk kami. Menurut saya, angka 20.000 tidak muluk," ujarnya saat diwawancarai okezone usai jumpa pers di Mario's Place Cikini, Selasa (19/2/2008).

Tidak hanya itu, saat ini Andalan Solusindo Pratama menjalin kerja sama dengan Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI). "Kami juga mensosialisasikan ThinkFree pada warnet-warnet di Indonesia. Tidak sedikit warnet dengan puluhan PC mengeluh keberatan dengan bandrol Microsoft Office yang berlisensi," jelas Richard.

Hingga saat ini, Haansoft bekerjasama dengan Andalan Solusindo Pratama untuk pendistribusian yang sudah mencakup Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.

"Saat ini kami (Andalan) menandatangani partnership agreement dengan PT Berca Cakra Teknologi yang sementara ini memiliki 30 reseller. Rencananya pertengahan hingga akhir tahun ini partner kami mencapai 54 reseller untuk memperluas jangkauan hingga ke Lombok dan kota-kota kecil lainnya," tutur Richard ketika ditanyakan komentarnya tentang distribusi.(mbs)

Sumber : Okezone

11 Februari 2008

Software Pengenal Wajah, Saat Wajah Tak Bisa Disembunyikan

Peneliti dari Inggris berhasil membuat perangkat lunak untuk mengenali wajah dengan lebih sempurna. Alamat buruk bagi para teroris yang piawai gonta-ganti penampilan.

Ini peringatan buat Noordin M Top dan para gembong teroris lainnya yang piawai bergonta-ganti wajah. Belum lama ini, sejumlah peneliti dari Inggris berhasil membuat perangkat lunak yang mampu membaca wajah "asli" seseorang. Alhasil, meski sang buronan telah mereparasi muka berkali-kali, komputer akan tetap bisa mengenali foto diri yang sebenarnya. Bahkan, meskipun perubahan itu telah dilakukan 15 tahun sebelumnya.

Adalah Rob Jenkins dan Mike Burton, dua orang pakar psikologi dari Universitas Glasgow, Inggris, yang terinspirasi untuk menemukan software tersebut. Awalnya, mereka mendapatkan fakta bahwa manusia lebih mudah mengenali wajah seseorang dari beberapa foto yang diberikan daripada hanya sebuah.

Rupanya, hikmah di balik kesimpulan itu adalah manusia bisa mengenali karena melihat atau menganalisis dari sudut dan suasana yang berbeda. "Kami," demikian Jenkins dan Burton, "Terinspirasi untuk membuat gambar khusus yang merupakan ?rata-rata' dari sejumlah foto seseorang." Gambar sintesis itulah yang kemudian menolong perangkat lunak pengenal wajah untuk melakukan tugasnya sehingga menjadi lebih mudah.

Untuk membuktikan hasil kerjanya itu, kedua peneliti tersebut memasukkan foto tunggal sejumlah artis laki-laki pada layanan online MyHeritage.com. Ini adalah website yang memiliki data ratusan foto artis di seluruh dunia. Orang dapat meng-input fotonya untuk membandingkan dan menemukan orang terkenal mana yang paling mirip dengan dirinya.

Website itu digawangi oleh program pengenal wajah yang dikenal dengan nama FaceVACS. Ini adalah perangkat lunak pembaca raut muka terbaik berdasarkan pengujian US National Institute of Standards and Technology pada tahun 2006.

Jenkins and Burton persisnya memasukkan foto 25 orang terkenal–mulai dari Bill Clinton hingga Jack Nicholson–untuk menguji apakah MyHeritage mengenali mereka secara tepat. Rupanya, dengan data tak kurang dari 450 gambar wajah, hanya 54 persen dari foto yang dimasukkan oleh para peneliti itu yang berhasil dikenali.

Foto-foto yang tak berhasil dikenali itu lantas diolah sehingga didapatkan gambar "rata-rata"-nya. Setelah foto "komposit" itu dimasukkan kembali ke MyHeritage, perangkat lunak itu mengenali hampir semuanya (80 persen). "Ini adalah untuk pertama kali software mengenali foto dengan sejumlah elemen, seperti pencahayaan dan pose yang tak dikontrol," kata Jenkins. "Ini seperti mekanisme bagaimana manusia mengenali obyek yang dilihat," imbuhnya.

Salah satu bagian fundamental dari pembuatan foto komposit itu adalah dibuangnya faktor pencahayaan dan pose yang sering kali membedakan foto yang satu dengan lainnya. Dengan kata lain, teknik tersebut mengekstrak bagian-bagian yang paling esensial dari wajah seseorang. "Benar bahwa sejumlah informasi akan hilang, namun justru bagian informasi itu yang tak diperlukan," terang Jenkins.

Teknik pembuatan wajah rata-rata itu persisnya mengidentifikasi ciri paling khusus dan rahasia dari sebuah foto wajah, misalnya sudut mata dan bibir. Sementara, jika foto menampilkan seseorang dengan sudut yang berbeda, maka sistem akan mengoreksi gambar sehingga ciri khusus antara beberapa foto akan tampak. Akhirnya beberapa foto itu akan digabungkan dan dihasilkan foto sintesis.

Dengan penerapan teknik foto sintesis pada passport atau dokumen identitas lainnya, kata Jenkins, maka proses pengamanan, misalnya di Bandara, akan menjadi lebih maksimal. Bahkan, meski foto komposit itu dibuat 15 tahun lalu, maka tetap saja wajah seseorang dapat dengan mudah untuk dikenali.

Jonathon Phillips, peneliti dari National Institute of Technologies and Standards, Amerika Serikat, pada tahun 2006 sejatinya juga melakukan penelitian yang sama. Namun, dia menggunakan faktor yang sangat terkontrol, misalnya resolusi gambar mesti tinggi dan subyek harus menghadap kamera dengan pencahayaan yang telah ditentukan.

Phillips mengungkapkan, ketika itu tim yang dipimpinnya berhasil membuat sistem yang berhasil memadukan dua teknik yang selama ini berkembang secara bersamaan, yakni koreksi pada foto non-frontal dan membuat rata-rata gambar wajah. "Namun, untuk mengaplikasikan teknik tersebut diperlukan bank data yang cukup besar," urainya. (Trust//mbs)

Intelijen Bisa Memata-matai Warga

Pada akhir tahun 2006, Jan Erik Solem, peneliti sari Swedia, berhasil menemukan Polar Rose. Ini adalah sistem pencari gambar di internet yang dapat merekonstruksi bentuk tiga dimensi wajah manusia, dan sekaligus mengombinasikan dengan ciri khususnya untuk menghasilkan sebuah foto dua dimensi yang unik.

Selama ini, ujar Solem, mesin pencari data di internet sebenarnya hanya bisa mencari gambar berdasarkan teks yang menyertainya. Singkat kata, mesin itu buta terhadap gambar. Tapi, Polar Rose tidak. Bahkan, sistem ini bisa membuat model tiga dimensi dari sebuah foto dua dimensi. "Kami menggunakan metode statistik untuk mengerjakan hal itu," terangnya.

Nordic Venture Partners, perusahaan asal Negeri Skandinavia itu, bersedia mendanai pengembangan Polar Rose tak kurang dari USD5,3 juta. Sistem ini merupakan yang pertama di dunia, dan Erik Solem percaya dapat menyaingi mesin pencari yang sudah ada sebelumnya. "Belum ada search engine seperti ini. Jika ini sukses, kami akan bersaing dengan raksasa, seperti Google, Microsoft, dan Yahoo," ungkapnya percaya diri.

Erik Solem juga berkeyakinan bahwa teknologi yang dikembangkannya itu dapat diterapkan di dunia game. Teknologi ini memungkinkan memasukkan obyek-obyek ke dunia maya hanya dengan mengambil fotonya. Jadi, teknologi ini semakin mempermudah dan menghemat biaya karena selama ini pembuatan obyek 3D di sebuah game dibuat secara manual.

Namun, di balik kemudahan itu, muncul pula kekhawatiran. Yaman Akdeniz, aktivis yang gencar menyuarakan tentang privasi, mengatakan bahwa sistem pencarian gambar via internet itu bisa jadi menolong untuk mencari penjahat. Tapi, di sisi lain teknologi itu bisa digunakan untuk membongkar data pribadi seseorang, bahkan dimanfaatkan oleh aparat intelijen guna memata-matai warganya. (Trust//mbs)

Sumber : Okezone

01 Februari 2008

Mari Menulis Ilmiah dengan LaTex

Oleh Emanuel Sungging

Bagi banyak ilmuwan, seringkali penulisan dokumen menggunakan LaTeX merupakan keharusan. Tetapi penulisan dokumen menggunakan LaTeX seringkali menyebabkan dahi berkerut dibandingkan menggunakan pengolah kata komersil yang sudah ada. Seringkali muncul pertanyaan, kenapa LaTeX? Atau, apakah itu LaTeX?

LaTeX adalah sebuah sistem untuk mempersiapkan dokumen (dilafalkan 'la-te(c)h', bukan latex), dengan LaTeX maka bisa dibuat suatu dokumen yang terbaca. Apakah itu berarti sama dengan pengolah kata komersil, sebutlah Microsoft Word(TM)? Atau yang gratis seperti Open Office? Kalau hanya sekedar 'mengolah kata', memang hanya itulah kesamaannya.
Kode-kode
Dibanding pengolah kata standar yang bersifat WYSIWYG (What You See is What You Get), bekerja dalam LaTeX lebih seperti membuat pemrograman, karena harus berurusan dengan kode-kode, tetapi LaTeX menjadi pilihan komunitas sains internasional karena kualitas yang dihasilkan, gratis, bisa dipergunakan semua jenis komputer, semua sistem operasi, dan bisa dipergukanakan untuk menampilkan hal-hal yang sulit dilakukan oleh pengolah kata standar.
Kenapa namanya LaTeX? Etimologi LaTeX dimulai ketika Donald Knuth menciptakan TeX, sekitar tahun 1978, dari tiga huruf besar Yunani, Tau, Epsilon dan Chi, yang dalam bahasa inggris menjadi akar kata dari "technical" dan "technique", ketika kemudian Leslie Lamport mengembangkan supaya TeX bisa lebih dipergunakan secara lebih sederhana, maka diperkenalkan LaTeX, mungkin agar bisa disesuaikan dengan namanya?
Bagi yang belum pernah bekerja dengan LaTeX, mungkin bisa dibayangkan seperti menyusun dokumen untuk HTML, tetapi LaTeX sendiri jauh lebih dari sekedar itu saja.
Ada 10 alasan kenapa LaTeX dipilih oleh para ilmuwan:
  • Keluaran TeX selalu yang terbaik, baik tulisan, gambar, rumus, format, tanpa bergantung pada peralatan tambahan, huruf tambahan. Baik untuk dokumen sederhana maupun dokumen yang rumit. Bayangkan menulis rumus dalam Microsft Words(TM), yang harus bergantung pada Microsoft Equation(TM), bagaimana jika rumusnya rumit-rumit, atau hurufnya besar kecil, sesuatu yang tidak muncul dalam tulisan sehari-hari? LaTeX juga menyediakan semua peralatan untuk membuat tabel, cross-references, hyper-links, yang bisa dilakukan dengan mudah. Karena kemudahan dan keunggulan dalam menuliskan rumus-rumus yang ajaib, maka TeX adalah pilihan terbaik untuk dokumen-dokumen ilmiah. Dan itu dilakukan menggunakan penulisan text standar saja.
  • LaTeX dan typesetting, LaTeX bisa mengatur simbol untuk variabel, berapa besar dan ruang yang dibutuhkan bagi notasi, superscript dan subscript, dsb. Bagan, flow chart, not balok, atau gambar rangkaian dapat dikerjakan dengan mudah. Bahkan dari penulisan standar bisa digunakan untuk menuliskan karakter-karakter bahasa di seluruh muka Bumi. Dengan demikian setiap dokumen dengan mudah mengikuti standar penulisan yang dibutuhkan, per se, tanpa harus berpusing-pusing mengatur format, setiap kali menulis.
  • LaTeX selalu cepat, karena untuk menulis dalam LaTeX bisa saja menggunakan text standard, maka menggunakan notepad pun bisa dilakukan, yang berarti mengirit ruang dan memori komputer.
  • LaTeX selalu stabil, sejak diperkenalkan, dipergunakan oleh jutaan orang, tidak pernah ada keluhan berarti, bahkan banyak yang membantu mengembangkannya. Stabil berarti LaTeX itu bekerja, dan akan terus bekerja, karena semakin banyak orang yang mempekerjakannya.
  • LaTeX itu luwes, setiap institusi, setiap jurnal punya gayanya sendiri, dan tidak hanya dalam 'gaya' yang ada di luarnya, tetapi juga dalam pengembangan engine-nya; tetapi terlepas semua pilihan yang dipergunakan, inti terdalam LaTeX itu selalu tetap sama.
  • Input yang selalu text. Dengan demikian, maka bekerja bisa dilakukan di komputer model apa saja, sistem operasi apa saja, dan untuk keperluan apa saja, jauh dari hanya sekedar pengolah-kata, tetapi bisa dikembangkan untuk basis data, atau keperluan yang memerlukan sumber daya yang besar, tetapi tidak boros.
  • Keluaran bisa berupa apa saja, dari sekedar untuk keperluan pencetakan, seperti pdf, ps, atau sekedar menampilkan seperti html, bahkan terbuka untuk pengembangan yang belum terpikirkan sebelumnya.
  • LaTeX itu gratis.
  • LaTeX itu bisa digunakan di mana saja, tanpa memandang sistem operasi, jenis komputer, atau jenis media.
  • LaTeX itu standar. Banyak penerbitan ilmiah dan Jurnal mempergunakan laTeX sebagai standar penyusunan dokumen.
Sumber : http:// Netsains.com